Bismillah.
Penghambaan kepada Allah merupakan jalan hidup seorang mukmin. Menghamba kepada Allah dengan landasan cinta, takut, dan harapan. Cinta kepada Allah karena Allah semata yang menciptakan dan memberikan rezeki serta segala nikmat kepada manusia. Takut kepada Allah akan pedihnya hukuman-Nya bagi orang-orang yang durhaka. Berharap kepada Allah akan luasnya rahmat dan ampunan-Nya. Begitulah seorang muslim menegakkan ibadahnya kepada Allah.
Para ulama mengatakan, “Barangsiapa beribadah kepada Allah dengan cinta, takut, dan harap maka dia itulah orang mukmin ahli tauhid.” Hal ini mengisyaratkan betapa pentingnya amalan hati dalam membangun agama dan ketaatan kepada Allah. Hati menjadi poros perbaikan bagi seluruh aktifitas anggota badan dan gerak-gerik lisan.
Para ulama kita juga menjelaskan bahwa hakikat ibadah kepada Allah itu memadukan antara puncak perendahan diri dan puncak kecintaan. Perendahan diri yang muncul dari sikap memperhatikan aib-aib pada diri dan amalan hamba. Dan kecintaan yang lahir dari menyaksikan sekian banyak curahan nikmat Allah kepada manusia. Ibadah kepada Allah harus tegak di atas pilar kecintaan. Kecintaan yang dimaksud adalah yang disertai dengan ketundukan total kepada Allah. Sebagaimana dikatakan dalam sebuah sya’ir, “Sesungguhnya orang yang cinta itu, terhadap siapa yang dicintai akan selalu mematuhi.” Adapun kecintaan yang bercabang dan terbagi dengan sesembahan selain Allah maka itu adalah kecintaan kaum musyrikin. Allah tidak mau menerima kecintaan mereka karena tercampuri dengan kecintaan kepada sesembahan selain-Nya.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya mereka beribadah kepada Allah dengan memurnikan bagi-Nya agama/amalan dengan hanif/bertauhid, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat…” (al-Bayyinah : 5). Ibadah kepada Allah harus ikhlas untuk-Nya. Sebab Allah tidak mau menerima amalan yang terkotori dengan penghambaan kepada selain-Nya. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sembahlah Allah, dan janganlah kalian persekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (an-Nisaa’ : 36)
Kecintaan kepada Allah melazimkan seorang muslim untuk melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Oleh sebab itu keislaman seorang hamba diukur dengan ketundukannya kepada ketetapan dan hukum-hukum Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Sekali-kali demi Rabbmu mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikanmu (rasul) sebagai hakim/pemutus perkara dalam segala hal yang diperselisihkan diantara mereka, kemudian mereka tidak mendapati rasa sempit dalam hatinya terhadap apa-apa yang telah kamu putuskan itu, dan mereka pun pasrah dengan sepenuhnya.” (an-Nisaa’ : 65)
Hasan al-Bashri rahimahullah berkata, “Bukanlah iman itu dengan berangan-angan atau menghias-hias penampilan. Akan tetapi iman adalah apa-apa yang bersemayam di dalam hati dan dibuktikan dengan amalan-amalan.” Iman tegak di atas enam pilar aqidah; iman kepada Allah, iman kepada malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan iman kepada takdir. Pokok keimanan itu adalah keimanan kepada Allah dan tauhid kepada-Nya. Tauhid inilah tujuan diciptakannya jin dan manusia. Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56)
Ibadah kepada Allah yang menjadi syarat tegaknya penghambaan itu adalah keikhlasan dan tauhid. Ibadah apapun tanpa tauhid dan keikhlasan tidak akan diterima di sisi Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Rabbnya, hendaklah dia melakukan amal salih dan tidak mempersekutukan dalam beribadah kepada Rabbnya dengan sesuatu apapun.” (al-Kahfi : 110). Amal yang salih adalah yang sesuai dengan tuntunan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan amal yang ikhlas adalah yang tidak tercampuri syirik.
Oleh sebab itu seorang muslim selalu mengikrarkan pernyataan ikhlas dan tauhid ini dalam bacaan sholat yang dibaca olehnya setiap hari dalam setiap raka’at sholat, ‘iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ yang artinya, “Hanya kepada-Mu kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” Ibadah yang ikhlas adalah yang ditujukan kepada Allah semata. Sehingga pelakunya tidak menujukan sedikit pun ibadah kepada selain-Nya. Itulah makna dari kalimat iyyaka na’budu; hanya kepada-Mu Ya Allah kami beribadah. Sehingga seorang muslim akan berusaha untuk memurnikan amal-amalnya untuk Allah. Apabila dia sholat, maka sholatnya karena Allah. Apabila dia bersedekah maka sedekahnya karena Allah. Bukan karena mencari pujian atau sanjungan. Bukan pula karena ingin mencari imbalan dari manusia. Seratus persen amalnya murni untuk Allah!
Dalam sebuah hadits qudsi, Allah berfirman, “Aku adalah Dzat yang paling tidak membutuhkan sekutu. Barangsiapa melakukan suatu amalan seraya mempersekutukan di dalamnya bersama-Ku ada sesembahan selain-Ku, maka Aku tinggalkan dia dan syiriknya itu.” (HR. Muslim). Manusia wajib beribadah kepada Allah dan meninggakan sesembahan selain-Nya. Inilah hak Allah yang wajib ditunaikan oleh setiap hamba kepada Rabbnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hak Allah atas hamba adalah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mempersekutukan dengan-Nya sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Inilah hakikat dari tauhid. Bagaimana seorang hamba mempersembahkan segala bentuk ibadahnya kepada Allah dan mencampakkan segala bentuk sesembahan selain-Nya. Inilah poros dakwah Islam di sepanjang zaman. Allah berfirman (yang artinya), “Dan sungguh Kami telah mengutus kepada setiap umat seorang rasul yang menyerukan; Sembahlah Allah dan jauhilah thaghut.” (an-Nahl : 36). Beribadah kepada Allah adalah dengan mentauhidkan-Nya, dan menjauhi thaghut yaitu dengan meninggalkan syirik kepada-Nya dalam hal ibadah. Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan bahwa thaghut adalah segala sesuatu yang menjadikan seorang hamba melampaui batasnya, baik dengan cara disembah, diikuti, atau ditaati. Gembong thaghut itu adalah setan. Dan ibadah kepada setan itu adalah dengan menaati ajaran dan perintahnya.
Dalam sebuah sya’irnya, Ibnul Qayyim rahimahullah mengambarkan kondisi banyak manusia yang telah berpaling dari pengabdian kepada Allah menuju penghambaan kepada setan. Beliau berkata :
Mereka lari dari penghambaan
yang menjadi tujuan mereka diciptakan
Maka mereka terjebak dalam pengabdian
kepada hawa nafsu dan setan
Tidak akan bisa seorang muslim berpegang-teguh dengan agamanya kecuali dengan berlepas diri dan menolak penghambaan kepada selain Allah. Allah berfirman (yang artinya), “Maka barangsiapa yang kufur kepada thaghut dan beriman kepada Allah, sungguh dia telah berpegang-teguh dengan buhul tali yang paling kuat dan tidak akan terurai…” (al-Baqarah : 256). Kufur kepada thaghut artinya menolak segala bentuk penghambaan kepada selain Allah, sedangkan beriman kepada Allah yaitu dengan menujukan ibadah kepada Allah semata.
Inilah keimanan yang akan mengantarkan kepada keamanan dan petunjuk dari kesesatan. Allah berfirman (yang artinya), “Orang-orang beriman dan tidak mencampuri imannya dengan kezaliman (syirik); mereka itulah orang-orang yang diberikan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberi petunjuk.” (al-Ana’am : 82). Orang beriman yang dimaksud adalah kaum yang bertauhid. Adapun kezaliman yang dimaksud adalah syirik; sebagaimana telah ditafsirkan sendiri oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang sahih.